Hari Kedua: Menjelajah Singapura

Zǎo shàng hǎo 早上好! Selamat pagi dari Chinatown! Jadi usai subuh saya meminta Pras, Ida dan Suci untuk sekalian bergegas mandi bersiap jalan-jalan pagi. Sudah saya sebutkan bahwa Chinatown adalah center of the universe-nya Singapore, salah satu faktor pendukungnya adalah destinasi yang walkable distance. Contohnya jalan kaki dari Chinatown ke Merlion cuma 1,4 km. Hey, 1,4 km itu sama dengan jarak Malioboro dari ujung ke ujung. See?


Tujuan kami pagi ini adalah Fort Canning Park. Dari penginapan cukup jalan kaki sekitar 1 km. Kami jalan melalui Clarke Quay via Melacca/Read Bridge. Sedikit cerita, nightlife in Clarke Quay is what this party hub of Singapore is really famous. Any discussion about where to go for evening drinks in Singapore usually starts here. Jadi bisa dibilang Clarke Quay adalah tempat yang tepat bagi yang kepingin mabu-mabuan merasakan nightlife dan "party" di Singapore. Tentu saja saya tidak mengajak teman-teman saya untuk party, selain baru buka pada malam hari, ingat, blog ini adalah blog syariah 😋 Untuk cerita lebih lengkap soal Clarke Quay boleh tengok tulisan saya di Singapura dari Ujung ke Ujung.



Jadi apa faedahnya mengunjungi bukit dengan luas sekitar 18 hektar itu? Nah, ini adalah tempat historis karena Sir Thomas Stamford Raffles, sang founding father Singapura, membangun kediamannya di sana. Tentu saja dengan bermukimnya Raffles disitu, maka banyak bangunan peninggalan kolonial Inggris yang saat ini masih tersisa. Selain historical site, dengan luas areanya Fort Canning Park bisa digunakan untuk berbagai macam aktivitas. Utamanya joging atau sekedar morning walk. Dan banyak sudut instagram-esque yang juga sering digunakan untuk mojok pacaran sesi pemotretan serupa pre-wedding atau modelling.










Ada banyak lokasi historis lain di Fort Canning Park yang akan membuat kita memahami sejarah Singapura. Sebegitu pentingnya peranan Fort Canning Park terhadap sejarah Singapura, PM Kanada Justin Trudeau menyempatkan berkunjung kesini disela-sela kunjungan kenegaraannya lho. Cerita lebih lengkapnya bisa kunjungi panduan Singapura dari Ujung ke Ujung ya!


Setelah berkeringat karena naik turun di Fort Canning Park, kami berpindah ke National Museum of Singapore. Tujuannya adalah halte bus yang akan membawa kami ke Bukit Timah Rd. Dikarenakan ada perpindahan jalur bus sementara, saya sempat bingung akan ke halte SMU atau ke YMCA. Akhirnya saya meminta teman-teman untuk menunggu didepan National Museum of Singapore sementara saya bolak balik ngecek ke halte YMCA dan SMU. Akhirnya kami ke halte SMU untuk naik bus 166 menuju Bukit Timah Rd yang tidak lain adalah pintu masuk ke Little India.


Setengah perjalanan ke Little India, hujan mulai turun deras. Bahkan kemudian kami harus berlari-lari dari halte Little India Stn Exit A menuju Tekka Centre. Tujuan kami adalah hawker yang berada di dalam Tekka Centre ini, tentu saja untuk Brunch!

Tekka Centre (ngambil dari Google, kan hujan, sayang kamera dong!)

Tujuan utama saya adalah stall Allaudin's Biryani. Konon sudah menjadi Briyani Specialist sejak tahun 1950-an. Menurut saya, sejauh kulineran di Negeri Singa, hanya Biryani di Zam-Zam Singapore yang bisa menandingi keistimewaan dari Allaudin's Biryani ini, terutama Mutton Briyaninya. Maka, teman-teman saya harus ngicipi dong!

Allauddin's Briyani

Sea of Mutton Briyani!

Mutton Briyani

Kata Pras, "Daging kambing tanpa perlawanan!"

Seporsi Briyani memang bisa dikategorikan sebagai porsi kuli. Ida dan Suci bahkan hanya mampu menghabiskan setengahnya. Berbeda dengan saya dan Pras yang tentu saja sampai tuntas dong! Niat awalnya, setelah brunch saya akan mengajak mereka keliling Little India. Tapi sampai menunjukkan pukul 10:30 kami mulai beranjak dari meja karena hujan tidak kunjung reda. Waktu itu hari Jumat, saya juga merencanakan untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat di Masjid Al Falah di bilangan Orchard. Jadi biar kami yang laki-laki sholat Jumat, yang perempuan bisa shopping. Win win solution! Akhirnya kami berlarian menuju stasiun MRT Little India. Kami ambil jalur ungu ke Dhoby Ghaut dan nyambung jalur merah ke Orchard. Oya, untuk panduan lengkap jalan-jalan di Little India dan sekitarnya kunjungi Singapura dari Ujung ke Ujung ya!


Sampai ke Orchard kami ambil Exit E menuju ION Orchard. Sampai luar kami masih disambut hujan deras serupa. Kami mlipir-mlipir tepian ION Orchard sampai depan Wisma Atria untuk mencari underpass untuk menyeberang ke Lucky Plaza. Teman-teman saya juga tidak lupa berfoto bersama patung warna-warni yang merupakan ikon dari ION Orchard ini.

Foto diambil saat tidak hujan


Akhirnya kami masuk Lucky Plaza dan mondar-mandir dari satu toko suvenir ke toko suvenir lain. Selagi teman-teman saya berbelanja, saya sibuk berhitung untung ruginya lari-larian dari Lucky Plaza ke sekitaran Brideford Rd untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat di Masjid Al Falah. Meskipun cuma 350 meter, tapi ditengah hujan deras begini, kasian teman-teman saya kan berlarian sambil nentengin belanjaan.

Lucky Plaza disaat tidak hujan tentu saja...

Fridge Magnet

Akhirnya usai menghabiskan uang belanja oleh-oleh, saya putuskan kami kembali menuju stasiun MRT Orchard. Ambil jalur merah ke City Hall pindah jalur hijau ke Bugis. Dari Bugis tentu saja kami menuju Masjid Sultan di area Kampung Glam. Hujan sudah mulai reda tinggal gerimis.



Sementara saya dan Pras melaksanakan ibadah sholat Jumat, Ida dan Suci beredar disekitaran Kampong Glam. Usai sholat Jumat, gantian kami yang nungguin mereka melaksanakan sholat. Sempat menawarkan untuk keliling Haji Lane tapi mereka tolak dan langsung menuju ke tujuan kita berikutnya yaitu Sentosa Island. Kami naik MRT jalur hijau dari Bugis menuju Outram Park dan berganti jalur ungu ke Harbourfront. Sentosa Island bisa diakses menggunakan kereta monorail Sentosa Express yang stasiun pemberangkatannya berada di lantai 3 Vivo City Mall. Stasiun MRT Harbourfront berada persis dibawah mall ini.


Sebelum menyeberang ke Sentosa Island, saya sempat menawarkan makan siang. Daripada makan di Sentosa Island yang cukup mahal, mending pas masih disini. Kita bisa ke Seah Im Food Centre ada banyak pilihan makanan halal disana. Tapi teman-teman saya mengaku masih kenyang berkat porsi kuli Mutton Biryani pagi tadi. Tiket Sentosa Express seharga $4. Bisa dibeli langsung atau bagi pengguna EZ-Link tinggal tap di pintu masuknya.




Kita turun di Waterfront Station yang merupakan pintu masuk menuju Universal Studio. Tentu saja saya membiarkan teman-teman saya berfoto dengan "bola" Universal Studio itu. Biar syarat sah main ke Singapura setelah Merlion itu terwujud. Oya, ada banyak pilihan di Resort World Sentosa ini. Dari S.E.A Aquarium, Madame Tussauds Museum sampai rupa-rupa Kasino. Tapi yang dimaksud bukan Kasino temennya Dono dan Indro. Kasino tempat menguji keberuntungan alias judi. Disini tujuan kami terbagi, Pras yang sudah mengantongi tiket masuk Madame Tussauds melalui Tr*veloka langsung menuju museum yang berisi patung lilin dari tokoh-tokoh terkenal.


Dikarenakan saya pernah berkunjung ke Madame Tussauds pada tahun 2014 lalu, maka saya bersama Ida dan Suci langsung meluncur menuju daya tarik utama yang merupakan candu di Sentosa bagi saya: Luge. Sesuai dengan jargon-nya, Luge memang "Once is never enough" setidaknya kudu 2x naiklah biar puas. Lagipula memang ada 2 rute yang membentang di sirkuit sepanjang 2,6 km ini.

Luge (Courtesy of skylineluge.com)

Dulu, tahun 2014 ketika pertama kali nge-Luge, 1x Ride Luge + Skyride harus membayar $15 dan untuk next-ride ke-2 cukup membayar $8. Sebuah diskon yang menggiurkan! FYI, take the Skyride to the top of the Luge trails then Luge down. Begitu. Nah, sekarang tiketnya berubah, combo 2x ride + skyline kita diharuskan membayar $23.50. Yang artinya lebih mahal 50 Cent daripada tiket terdahulunya. Ini semua pasti salah Jokowi! 


Skyride (Courtesy of skylineluge.com)

Jadi kami janjian untuk ketemu lagi di Siloso Beach sekitar pukul 18:00. Sembari menunggu Pras yang mungkin masih berfoto-foto gemas dengan patung Taylor Swift kami jalan bolak-balik menyusuri Siloso Beach dan berakhir nongkrong di depan Ola Beach Club. Kenapa harus Ola Beach Club? Karena, selain kita bisa duduk santai selonjoran dibawah pohon kelapa memandang bule berbikini pantai pasir putih, disitu kita akan mendapat limpahan sinyal dari Batam terutama untuk operator nasional berwarna merah. Bisa nelpon pacar dari Singapura dengan pulsa lokal!

Ola Beach Club

Senja di depan Ola Beach Club

Sudah pukul 18:30 dan Pras belum juga nongol. Siapa tahu nyasar, akhirnya kami berpencar untuk menyisir Siloso Beach. Saya menyisir dari sisi pantai berpasir, Ida dan Suci menyusur Siloso Beach Walk melalui trotoarnya. Sampai ujung Siloso Beach mendekati Fort Siloso hasilnya nihil, kami berbalik arah menyisir ulang. Sempat mulai khawatir karena hanya handphone saya yang punya koneksi internet internasional dan tentu saja tidak bisa menghubungi Pras. Akhirnya saya menemukan sesosok laki-laki sedang celingukan di ujung dermaga yang berada di samping Ola Beach Club. There he goes! Nampak secercah keceriaan mulai muncul di wajah Pras. Wkwkwkwk.

Bye-bye Sentosa Island

Kami langsung bergegas menuju Beach Station untuk naik Sentosa Express menuju Vivo City. Dari Vivo City kami turun ke stasiun MRT Harbourfront, ambil jalur ungu ke Outram Park dan nyambung jalur hijau menuju Bugis. Tujuannya tidak lain adalah Bugis Street untuk berbelanja!



Dikarenakan ini adalah malam terakhir di Singapura, maka ini adalah saat terakhir untuk menghambur-hamburkan uang membeli oleh-oleh. Jadi, karena saya berniat untuk beli oleh-olehnya nanti di Kuala Lumpur, jadi saya biarkan teman-teman saya untuk melanglang buana memenuhi kebutuhan belanjanya. Usai membeli magnet kulkas, gantungan kunci (lagi), dan cokelat Singapore yang bikinan Malaysia itu, saya dan Pras menepi di stal $1 Ice Fresh Juice untuk menunggu Ida dan Suci yang masih ngider kesana kemari.



.

Menjelang pukul 21:00 saya menggiring teman-teman saya untuk beringsut dari Bugis Street menuju Bugis+. Tak lain untuk makan malam. Setelah tadi pagi mencoba Nasi Briyani, saatnya mengenalkan makanan peranakan yang juga menjadi ikon Singapura ke teman-teman saya: Laksa. Di Bugis+ terdapat kedai Encik Tan yang menjual berbagai macam menu peranakan, tapi yang kita cari malam ini adalah Laksa khas Singapura. Oya, kedai Encik Tan di Bugis+ sudah tutup ya. Untuk menikmati Laksa di Encik Tan, silakan klik disini untuk lokasi-lokasi kedai Encik Tan lain yang tersebar di seantero Singapura.




Laksa di Encik Tan ini semangkuk hanya $4 saja. Selain cukup otentik, semua makanan peranakan di Encik Tan mengantongi sertifikasi halal dari MUIS. Bagi kalian yang punya waktu cukup banyak, silakan berkunjung ke daerah East Coast dan mampir ke kedai 328 Katong Laksa. Kedai ini disebut-sebut sebagai salah satu restoran laksa terbaik di Singapura. Bahkan sekelas Gordon Ramsay datang jauh-jauh dan kemudian mengakui kenikmatan dan uniknya rasa dari mi kuah khas Singapura tersebut. Cerita lengkap tentang Katong Laksa bisa kalian simak di panduan Singapura dari Ujung ke Ujung ya!

Niat awalnya memang henda naik bis biar langsung turun di depan penginapan. Tapi karena kenyang, rasanya malas melangkahkan kaki 400 meter ke halte Bugis Cube. Akhirnya kami beringsut ke stasiun MRT Bugis. Sesampainya Chinatown, ketika melewati night market, kami pun berpisah. Saya dan Pras langsung ke penginapan, sedangkan Ida dan Suci melanjutkan belanjanya di night market Chinatown. Yah, kalau soal belanja, memang laki-laki seringkali kalah passion dengan perempuan. Hehehehe.




Sampai di penginapan saya dan Pras bergegas mandi dan nyicil packing karena besok pagi kita akan berpindah tujuan ke Malaysia. Tak lupa saya mengingatkan Ida dan Suci melalui pesan Whatsapp untuk juga nyicil packing begitu mereka sampai penginapan. Takutnya mereka harus mengepak belanjaan mereka berkarung-karung itu. Wkwkwkwk. Hari kedua dicukupkan, sampai jumpa di postingan berikutnya, besok kita akan berpindah ke Malaysia!

Comments

Post a Comment